Buku lagi … buku lagi, kata-kata
seperti inilah yang sering kita dengar mana kala sang anak diminta untuk
membaca buku. Seakan-akan mereka menganggap dan melihat buku itu sebagai momok
yang menakutkan dan menjenuhkan. Sudah tak mengherankan lagi karena telah
menjadi rahasia umum kalau masyarakat kita ini mempunyai minat baca yang
rendah.

Dilansir dari tulisan Arifah Suryaningsih,
terpuruknya minat baca bangsa kita salah satunya terindikasi dari jumlah buku
yang diterbitkan. Rata-rata Indonesia dalam satu tahun hanya menghasilkan 72
juta buku. Jika dibandingkan dengan penduduk Indonesia sebanyak 240 juta maka
rata-rata satu buku dibaca tiga sampai empat orang. Padahal idealnya satu orang
membaca tujuh judul buku per tahun. Hasil progress in international reading
an literacy study (PIRLS) tahun 2012menunjukkan bahwa minat baca masyarakat
kita berada diurutan 61 dari 65 negara.
Selain itu di luar negeri sekolah-sekolah
setingkat SMA untuk meningkatkan minat baca peserta didik mereka menerapkan
sistem jumlah buku wajib baca tamat dan dibahas peserta didik. Tengok saja SMA
Singapura mematok enam judul buku yang harus dibaca dan dibahas siswa hingga
tamat. SMA Malaysia enam judul buku, Thailand lima judul buku, Brunai tujuh
judul buku, Perancis 20-30 judul, Belanda 30 judul buku, sedangkan Indonesia
nol Judul buku, alias belum ada kegiatan seperti ini.
Nah, kalau sudah begini bagaimana? Tentunya
kita semua harus tergerak dan terpacu bukan, untuk mengejar ketinggalan.
Sebenarnya ada banyak sekali hal positif dari kegiatan membaca. Menurut John
Stein membaca bukan saja untuk mengasah intelektual dan merupakan aktivitas
pasif, namun juga sangat baik untuk kesehatan secara menyeluruh baik fisik
maupun mental. Ini dikarenakan dalam membaca dibutuhkan sebuah kerja keras
dalam berimajinasi dan berempati dalam menghayati sebuah bacaan yang sedang
diselami. Manfaat positif tersebut akan berdampak pada penguasaan pengetahuan
yang lebih dalam. Kemampuan siswa dalam memahami setiap bacaan yang dicernanya
inilah yang akan menghasilkan kematangan berpikir yang berpengaruh pada tersemainya budi
pekerti luhur.
Kita tidak bisa hanya berandai-andai
semuanya bisa terwujud begitu saja. Tiba-tiba anak-anak suka baca atau
tiba-tiba ada habitus baca di sekolah. Semuanya tentu butuh proses, tidak hanya
menyuruh anak untuk membaca namun juga harus memberinya teladan. Gurulah yang
harus menjadi sosok teladan disekolah. Karena selama ini kondisi gurupun tak
jauh berbeda dengan kondisi peserta didik yang jarang mempunyai habitus baca.
Jadi semuanya bisa sama-sama saling berproses dan menyemangati satu sama lain.
Hal yang paling mungkin dilakukan untuk
menciptakan habitus baca di sekolah yaitu dengan cara membumikan gerakan
literasi di sekolah. Karena bagaimanapun juga sekolah merupakan garda
terdepan untuk mengemas kegiatan membaca menjadi ajang kompetisi. Semisal
dengan mengadakan lomba membaca cerita didepan kelas, lomba membaca puisi,
lomba menulis cerita pendek dan lain-lain. Ada banyak hal yang bisa sekolah
lakukan sebagaimana yang ada dalam buku membumikan gerakan literasi di
sekolah.
Didalamnya terdapat banyak strategi untuk
membentuk habitus baca di sekolah. Buku ini bagus dan recommended untuk
dimiliki oleh orangtua dan terutama guru, kepala sekolah dan pustakawan sebagai
acuan dalam mengembangkan gerakan literasi disekolah. Di dalamnya juga
terdapat seluk beluk seputar membaca, minat baca, habitus baca dan lain
sebagainya. Buku ini sangat direkomendasikan untuk dimiliki oleh lembaga
pendidikan.
Komentar
Posting Komentar